Apa pendapat kalian mengenai blog ini?

My Photo

My Photo
My Album
Powered By Blogger

Kamis, 25 Februari 2010

Blaise Pascal

Blaise Pascal

Hidupnya singkat saja: tiga puluh Sembilan tahun. Namun, masa hidup itu dipenuhinya dengan berbagai pencapaian mencengangkan. Orang mengenangnya sebagai seorang yang genius dalam bidang matematika, fisika, dan sastra. Ia dinobatkan sebagai Bapak Kalkulus Integral. Namanya pun melekat pada salah satu bahasa pemograman komputer (Program Turbo Pascal).

Itu baru berbicara soal pencapaian olah pikirnya. Melalui karyanya, Pensees, kumpulan catatan berkenaan dengan apologetika Kristiani, kita dapat menilik kerinduan hatinya dan perkara yang bermakna baginya: Pengenalan akan Allah.

Blaise Pascal Lahir pada 19 Juni 1623 di Clermont, Prancis. Ibunya, Antoinette Begon, meninggal saat ia berusia tiga tahun. Ayahnya, Etienne Pascal, seorang hakim yang berminat pada sains dan matematika. Ia mempunyai dua saudari, Gilberte dan Jacqueline (satu lagi meninggal saat masih kecil).

Pada 1931, Etienne memutuskan untuk membawa anak-anaknya pindah ke Paris karena tertarik pada dinamika intelektual kota itu. Ia bertekad akan mendidik sendiri puteranya, yang sejak dini telah memperlihatkan kecemerlangan kemampuan mental dan intelektual. Etienne bergaul dengan ilmuwan Paris tersohor saat itu, seperti Robervel, Mersenne, Desargues, Mydorge, Gassendi, dan Descartes.

Tak ayal lingkungan ini turut mendukung kemajuan Pascal. Pada usia tiga belas tahun, ia telah menguasai dasar-dasar geometri Euclidian secara autobidak. Pada usia enam belas tahun, ia menerbitkan esai tentang kerucut yang mendapat pujian dari para ilmuwan. Antara tahun 1642 sampai 1644, ia mengembangkan mesin hitung untuk dipakai ayahnya dalam penghitungan pajak. Mesin itu tidak lain adalah cikal bakal Komputer.

Ia dibesarkan dalam iman Katholik, namun setelah ayahnya meninggal dan adiknya menjadi biarawati, Pascal malah memasuki masa yang sangat duniawi dalam hidupnya. Bukannya ia melepaskan imannya, tetapi persekutuannya dengan Tuhan tampaknya menguap di tengah hasratnya yang membara dalam pengejaran intelektualnya.

Pertobatan Dahsyat

Pencapaian ajaibnya dan penerimaan kalangan elite Prancis, termasuk pengakuan dari Raja Louis XIV, mestinya membuat hidupnya menyenangkan. Sebaliknya, ia justru melihat dirinya seperti cacing dan monster--- sebuah kekacauan yang penuh kontradiktif.

Kondisi tubuhnya juga kurang mendukung. Ketika kesehatannya memburuk, dokter menyarankannya untuk bersenang-senang, mengesampingkan kesuntukkannya atas berbagai penelitian. Namun, Pascal tidak menceburkan diri ke dalam amoralita serba bobrok. Kesenangan baginya menonton sandiwara, berpesta, berdebat, dan berjudi (dari kesengan terakhir ini, ia mereka-reka dalil probabilitas).

“Aku, merasa muak dengan dunia ini,” katanya kepada Jacqueline, adiknya, yang menjadi biarawati. Pascal menyelidiki tulisan para filsuf besar untuk mendapatkan penghiburan, tetapi ia tidak menemukan apa-apa. Ia berpaling kepada Alkitab, tetapi Firman Tuhan hanya membuatnya kian meratapi kemalangan dan ketandusan rohaninya.

Namun, segalanya berubah pada malam 23 November 1654. Rumah Pascal di Rue des Francs-Bourgeois di Saint-Michel menyambut tamu istimewa : Tuhan. Ia mengalami lawatan adikodrati dahsyat yang menguncangkan seluruh keberadaannya. Pengalaman yang disebutnya “Pertobatan Kedua” ini benar-benar mengubah jalan hidupnya.

“API” tulisnya pada kertas di depannya. “Allah Abraham, Allah Ishak, Allah Yakub, bukan Allah para filsuf dan cendikiawan. “Hatinya menggengam apa yang selama ini tak terjangkau oleh daya pikirnya. Jiwanya dipenuhi kepastian, sukacita, dan damai sejahtera. Aib akibat merasa terpisah dari Allah digantikan oleh keyakinan penuh akan kasih karunia.

Prosa Cemerlang

Ia kemudian bergabung dengan komunitas cendekiawan di Port-Royal, Prancis, yang dikenal sebagai kaum Jansenis, golongan injili di tengah Gereja Katholik. Ia mengikuti pertemuan doa dan mendukung pelayanan kelompok ini tanpa menjadi anggota penuh. Disitu ia membantu mereka dalam kontraversi sengit dengan kaum Jesuit. Telaahnya akan tabiat manusia membawanya pada deduksi logis bahwa anugrah sajalah yang dapat membuahkan keselamatan, seperti yang diajarkan oleh kaum Jansenis. Ia menyampaikan argumentasinya dengan penalaran dan kecergasan. Pembelaannya terhadap serangan kaum Jesuit memukau para pembaca, baik karena gaya bahasa maupun karena efektivitasnya. Tulisan-tulisan apologetikanya ini dianggap sebagai “suatu monumen di dalam evolusi prosa Prancis” oleh para sejahrawan dan ahli bahasa.

Antara tahun 1657 dan 1658, Pascal menulis catatan-catatan apologetika yang akan disusun menjadi buku. Catatan yang berjudul Pensees (Gagasan=bahasa Prancis) ini baru diterbitkan setelah ia meninggal. Pascal memaksudkannya sebagai kajian dan pembelaan yang konheren terhadap iman Kristen. Ia menelaah beberapa paradoks filosofis: ketidakberhinggaan dan ketiadaan, iman dan penalaran, jiwa dan materi, kehidupan dan kematian, makna dan kesia-siaan; ia tidak menyajikan kesimpulan yang definitive kecuali kerendahan hati, ketidaktahuan, dan kasih karunia.

Pensees juga dianggap sebagai adikarya dan tonggak istimewa dalam kesusastraan Prancis. Will Durant dalam Story of Civilazation, mislanya, menyanjungnya sebagai “buku yang paling mengesankan dalam khazanah prosa Prancis”. Sayangnya, Pascal tidak sempat menuntaskan karya itu. Pada 19 Agustus 1662, dalam usia 39 tahun, ia meninggal dunia karena kesehatannya yang terus memburuk. Perkataan terakhirnya adalah “Kiranya Allah tak pernah meninggalkan aku!”

Luhur dan Bobrok

Kekuatan apologetika dilandasi oleh motivasi untuk meyakinkan orang supaya percaya kepada Yesus. Apabila apologetikanya hendak diarahkan sebagai penginjilan, hal yang harus diperhitungkan adalah kondisi manusia penyimaknya. Bagi Pascal, kondisi manusia ini merupakan titik tolak dan titik sentuh bagi apologetika.

Dalam analisisnya, Pascal berfokus pada dua sisi tabiat manusia berdosa yang sangat bertentangan manusia itu luhur dan sekaligus bobrok. Luhur, karena ia diciptakan di dalam rupa Allah; bobrok, karena ia jatuh ke dalam dosa dan terpisah dari Allah. Istimewanya, kita mengetahui bahwa diri kita itu bobrok. Dan pengetahuan ini justru sekaligus memperlihatkan keagungan kita.

Menurut Pascal, adalah penting bagi kita untuk memiliki pengertian yang benar akan diri sendiri. Katanya, “Sama-sama berbahaya bagi manusia kalau ia mengenal Allah tanpa menyadari kebobrokannya tanpa mengenal Sang Penebus yang dapat membebaskannya dari kebobrokan itu”.

Jauh di lubuk hatinya, manusia tahu tentang adanya dosa yang membelenggunya, tetapi mereka cenderung enggan memikirkannya. Kita lebih senang menepisnya: entah melalui pengalihan dengan melakukan ketidakpedulian dengan hidup tanpa memperhitungkan aspek kekekalan.

Dalam memberitakan Injil, kita perlu menegaskan bahwa “ada Allah yang dapat dikenal oleh manusia, dan ada kebobrokan di dalam tabiat manusia yang membuatnya tidak layak untuk mengenal Dia.” Hal itu akan mempersiapkan orang-orang yang belum percaya untuk mendengar tentang Penebus yang mendamaikan orang berdosa dengan Sang Pencipta.

Pelayanan : Hidupnya kebanyakan terjun di bidang sains dan matematika. Tetapi setelah ia bertobat, ia menggunakan segala pengetahuannya kepada Tuhan. Dia banyak menulis apologetika/ tulisan-tulisan tentang Yesus Kristus untuk membantu pelayanan kaumnya dalam memberitakan Injil, dia melakukan perombakan akan pemikiran kalangan Jesuit mengenai kekristenan. Dan sampai akhir hidupnya, dia tetap meneliti, menulis, dan mengabarkan Injil keselamatan.

Citra Kristen yang dimilikinya : Blaise Pascal setelah ia bertobat, ia meneliti kehidupan Yesus Kristus dan menjadikannya sebagai jurus’lamat pribadinya, Blaise Pascal juga berani mengatakan, “Bahwa Allah itu bukanlah Allah untuk bangsa cendekiawan yang hanya berfokus kepada ilmu pengetahuan dan hal-hal yang dianggap logis, tetapi Allah adalah Allah yang Luar Biasa dan Allah bagi semua orang”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya